Pages

Banner 468 x 60px

 

Senin, Januari 07, 2019

Ijtihad

0 komentar
Pengertian Ijtihad

Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras, bersungguh-sungguh, atau mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang maksimal. Secara teknis, ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian. Pengertian menurut kata kerja, menurut kata benda, dan menurut kata sifat. Pertama, pengertian menurut kata kerja, ijtihad adalah “mencurahan kemampuan maksimal oleh seorang ahli hukum (faqih) untuk meng-istinbath-kan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang rinci dari dalil-dalilnya,”[1] yakni menyangkut perbuatan manusia dengan manusia lain dan alam (muamalat). Kedua, pengertian menurut kata benda, ijtihad adalah hasil kerja intelektual seorang ahli hukum dalam menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum. Pengertian menurut kata sifat, ijtihad adalah kata yang menunjukkan sifat seorang mujtahid, yaitu “kecakapan yang dengannya seorang ahli hukum mampu menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara’ dari dalil-dalilnya.[2]

Dilihat dari asal katanya, ijtihad berasal dari kata “al jahdu”  dan “al juhdu” yang berarti “daya upaya” dan “usaha keras”, adapun definisi Ijtihad menurut istilah mempunyai dua pengertian: arti luas dan arti sempit, ijtihad dalam arti luas tidak hanya mencakup pada bidang fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke aspek-aspek kajian islam yang lain, seperti tasawuf dan aqidah.[3]

Sementara itu Abu Zahra Ia mengatakan:[4]

بذل الفقيه  وسعُه في استنباط الاحكامالعملية من ادلتها التفصلية.

Artinya:

“Mengerahkan segala kemampuan bagi seorang ahli fikih dalam melakukan istinbat hukum yang bersifat amali dari dalil-dalil yang terperinci”.



Fazlur Rahman mendefinisikan ijtihad sebagai “the effort to understand the meaning of a relevant text or precedent in the past, containing a rule and the alter that rule by extending or restricting or otherwise modifying it in such a manner that a new situations can be subsumed under it by a new solution”. (Ijtihad adalah upaya memahami makna suatu teks atau preseden di masa lampau yang mengandung suatu aturan dan mengubah aturan tersebut dengan cara memperluas, membatasi atau memodifikasinya dengan cara-cara yang lain sedemikian rupa sehingga suatu situasi baru dapat dicakup ke dalamnya dengan suatu solusi baru).[5]

Pada tataran ini ijtihad bisa difahami sebagai : sebuah terminology hukum islam yang secara umum dapat dikembangkan sebagai penafsiran atau upaya penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari sumber-sumber Islam yang autoritatif.

Sedangkan Hasbi Ash-Siddiqy menjelaskan maksud ijtihad : tidak lain daripada memahami undang-undang ilahi dengan faham yang mendalam dan menjadikannya undang-undang itu untuk memenuhi hajat.[6]

Asy-Syafi‟i menyebutkan bahwa dalam arti sempit qias itu juga ijtihad.[7]  Secara umum dapat di pahami bahwa maksud berijtihad adalah : orang yang secara mendalam memahami isi kitabullah dan sunnah Rasulnya dan ia hidup menghayati kedua-duanya, dan mendapatkan kejelasan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kehidupan, dan dapat memperoleh gambaran tentang proses penetapan hukum syari‟at untuk menjamin kebaikan dan keselamatan hidup umat amnesia, serta untuk menghadapi persoalan-persoalan baru yang selalu muncul dan memerlukan solusi hukum Islam yang benar dan tepat.

Ibrahim Husein mengidentifikasikan maknaijtihad dengan istinbath. Istinbath barasal dari katanabath (air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). Oleh karena itu menurut bahasa artiistinbath sebagai muradif dari ijtihad yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[8] Dan Menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh ijtihad adalah : pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat dhanni terhadap hukum syari’at.[9]

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa ijtihad/mujtahid mempunyai dua pengertian, yakni (1) umum (tidak terbatas) dan (2) khusus dan terbatas. Dalam pengertian umum, ijtihad mengacu kepada penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan pilihan ketika seseorang tidak mamiliki pegangan yang meyakinkan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah ataupun muamalah tertentu, sehingga ia harus mempunyai sangkaan kuat yang dapat dijadikannya pegangan dalam kegiatan tersebut. Ijtihad dalam perspektif ini merupakan keharusan individual (fardu ain) yang menyangkut kepentingan diri-sendiri.

Dasar ijtihad adalah hadis Nabi, yakni ketika Nabi hendak mengutus Muadz Ibnu Jabal ke Yaman sebagai hakim, Rasulullah bertanya pada Muadz: “Apa dasar yang kamu jadikan sebagai pegangan untuk menentukan hukum agama apabila timbul masalah, Muadz menjawab, “Kitab Allah” (al-Qur’an).Nabi bertanya lagi, “Jika di dalamnya tidak ditemukan?” “Sunnah Rasulullah”, jawab Muadz. Rasulullah terus mengejar, “jika di dalamnya juga tidak kamu temukan?” Lalu jawab Muadz “Saya berijtihad dengan menggunakan pertimbangan pikiran saya”.[10]

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian ijtihad adalah :

1.         Pelaku ijtihad adalah seorang ahli fiqh, bukan yang lain.

2.         Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i bidang amali (furu’iyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.

3.         Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya adalah dhanni.

Status dhanni pada hukum hasil ijtihad berarti kebenarannya tidak bersifat absolut,  ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.

Sandaran kerja ijtihad salalu pada dalil dhanni baik dhanniyu al-subut atau al-dalalah, seperti pada :

a.         Hadits ahad : dikategorikan dalil dhanniyu al-subut, mujtahid sebelum menyimpulkan hukum lebih dulu menyelidiki kondisi sanad dan segi patut tidaknya hadits tersebut dijadikan dasar hukum.

b.         Ayat al-Qur’an adalah dalalah lafadz(penunjukan maksud kata-katanya) perlu pengujian mutu tafsir atau mutu takwil-nya, demikian juga segala pertentangan dengan ayat lain (ta’arudh an-nushus) serta penunjukan ‘am-khasnya dan lain-lain.

Abdul Wahab Khallaf menerangkan bahwa ijtihad juga meliputi pengerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada hasilnya, disebut dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi). Ijtihad bi al-ra’yi merupakan satu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi pengertian :

1.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nashnya yang dhanni dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan nash al-Qur’an dan Hadits.

2.   Ijtihad untuk mendapatkan hukum syar’i amali (furu’iyah) dengan cara menetapkan qaidah syar iyah kulliyah.

3.         Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “Ijtihad al-Ra’yi”.[11]



Ruang Lingkup Ijtihad

Ruang lingkup ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ikmu usul fiqh adalah al mujtahid fih. Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki hukumqoth’i.

Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dlarurah dan bidahah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal), tidak termasuk lapangan ijtihad. Secara tegas, Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan bahwa sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i al-tsubut wa dalalah tidak termasuk lapangan ijtihad. Persoalan-persoalan yangtergolong ma ‘ulima min al-din bi al dlarurah, diantaranya kewajiban sholat lima waktu, puasa pada bulan rhamadan, zakat, haji, keharaman zina, pencurian dan minuman khamar.

Secara lebih jelas, Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama,sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah atau salah satunya (zhanni al-tsubut atauzhanni al-dalalah).

Selama ada dalil yang pasti maka dalil itu tidak bisa dijadikan obyek ijtihad, atas dasar ayat-ayat hukum tadi telah benar menunjukkan arti yang jelas dan tidak mengandung ta’wil yang harus diterapkan untuk ayat-ayat itu. Contoh masalah yang sudah ada hukumnya dalam nash:

الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد ماة جلدة

Artinya:

perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing seratus kali dera. (QS.An-Nuur: 22[15]).



Contoh diatas sudah jelas, bahwa baik laki-laki maupun perempuan yang berzina, masing-masing didera seratus kali, hukum ini sudah jelas sehingga tidak perlu diijtihadi.

Sedangkan contoh masalah yang membutuhkan ijtiihad adalah:

اقيمو الصلوة واتوالزكوة

Artinya :

Dan lakukanlah sholat, tunaikanlah zakat… (QS.Al-Baqarah:43).[16]



Dalam contoh ini memang sudah jelas bahwa umat manusia diperintahkan untuk melaksanakan sholat dan zakat, namun bagaimana cara melakukannya belum diterangkan dalam ayat tersebut, jadi masih perlu diijtahadi, contohnya berapa ukuran zakat padi, zakat perdagangan, zakat profesi, dan seterusnya.

Sedangkan KH. Ibrahim Husen memberikan ruang lingkup atau medan ijtihad pada 4 macam:

a. Masalah – masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Qur‟an dan hadist secara jelas.

b. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma‟i oleh ulama.

c. Nash-nash dhany dan dalil-dalil hukum yang di perselisihkan.

d. Hukum Islam yang kausalitas hukumnya dapat di ketahui mujtahid

0 komentar:

Posting Komentar